Senin, 25 Agustus 2008

Payung Silaturahim

SEBAGAI PROSES INTEGRASI PADA KEKUATAN SEJARAH
Kepentingan pertama dalam pembentukan Paguyuban Gapoktan adalah sebagai forum silaturahim dan menjadikannya sebagai proses integrasi pada kekuatan sejarah. Ada hubungan dialektis pada silaturahim dalam budaya khas dengan bingkai masyarakat Indonesia, khususnya Petani di Kabupaten Tegal.
Pertama, silaturahim terwujud karena kesadaran mendalam akan eksistensi diri, yaitu kesadaran yang dibangun atas dasar pembuktian akan kebenaran secara rasional budaya bangsa, baik secara normatif maupun historis- dalam bentuk manifestasinya ke tingkat praksis kehidupan.
Kedua, silaturahim akan membangun kesadaran setiap individu akan beban sejarah sebagai tanggung jawab sosial yang karenanya maka kehidupan masyarakatnya akan menyejarah dan bukan menyerah pada sejarah.

Proses integrasi ini tercapai karena terjadinya diskursus intelektual dan kepentingan yang harmonis, sehingga mampu mengatasi kebekuan dan berbagai krisis eksistensial yang mungkin terjadi, dan akan menjadikan kenyataan sosial sebagai tantangan, peluang, dan harapan untuk meraih sebuah kinerja yang profesional. Silaturahim, dengan demikian, berfungsi sebagai "ice-breaker" (pemecah kebekuan) atas kenyataan sosial.
Ringkasnya, elan vital (semangat dasar) silaturahim sebagai proses integrasi ini akan menjadikan bangunan masyarakat Petani sebagai sebuah harapan.
SEBAGAI PROSES TRANSFORMASI DAN PELEMBAGAAN NILAI

Silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai akan mengukuhkan sistem nilai itu sendiri sehingga tidak pernah memberi ruang terjadinya akumulasi secara teoretis, namun secara tepat akan mengatasi seluruh bentuk ikatan emosiaonal. Dengan silaturahim, sistem nilai yang dibangun para petani menjadi terpelihara. Secara pasti, silaturahim akan menyatukan komunitas petani pada visi dan orientasi yang jelas. Hal ini dimungkinkan mengingat platform masyarakat petani Kabbupaten Tegal memiliki ketegasan dan kejelasan dibandingkan dengan profesi lain.

Bagi komunitas Petani, silaturahim dalam makna fungsional ini menuntut sikap kritis agar pemihakan (berwilayah) sitem kerakyatan dapat dibuktikan secara rasional. Menempatkan silaturahim sebagai proses transformasi dan pelembagaan sistem nilai bermakna adanya tuntutan untuk membuka ruang dialog kritis dan pertanyaan yang serius: sejauh mana sistem nilai paguyuban mampu diterapkan dalam dunia kehidupan masyarakat pertanian secara optimal. Apresiasi terhadap pertanyaan ini selayaknya dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Dengan pertanyaan instrospektif ini, diharapkan seorang Petani tidak terpaku pada masa lalu, tanpa mengemban suatu tanggung jawab sosial di masa depan. Dengan demikian, ia akan melepaskan klaim kebenaran (truth claim) secara historis an sich dan bergerak menuju suatu harapan yang positif. Ia tidak hanya hapal sejarah petani masa lalu. namun ia akan menciptakan sejarah dengan kepemimpinan tokoh muda yang diharapkan mampu melakukan pembaharuan.
SEBAGAI PROSES AKTUALISASI BUDAYA YANG HIDUP

Paguyuban sebagai sistem gagasan yang serba mencakup menuntut pembumian atau realisasi. Jika kedua dimensi fungsional silaturahim tersebut bermuara pada fungsi baik pada kekuatan sejarah maupun sistem nilai, maka silaturahim sebagai proses aktualisasi ini menjadi jabaran nyata dalam realitas sosio-kultural masyarakat petani kita. Seluruh tema saling memiliki maupun senasib -sepenanggungan yang menjadi ciri khas dalam kehidupan masyarakat Indonesia menjadi aktual. Silaturahim, dengan demikian, akan mengajak kita untuk mewarisi tradisi Para tokoh pejuang bangsa yang meletakkan nilai-nilai dasar yaitu Persatuan Indonesia. Inilah budaya yang hidup yakni tradisi yang mengharuskan terjadinya perubahan (transformasi) baik secara individual maupun sosial.

Ketiga dimensi fungsional inilah yang penulis pandang akan menjadikan silaturahim memenuhi makna KEHIDUPAN BERMASYARAKAT yang dikutip di muka yakni proses menciptakan sifat-sifat KEUTUHAN dalam membentuk kekuatan petani kabupaten Tegal.