Sabtu, 06 September 2008

PASAR KHUSUS BENIH JAGUNG HIBRIDA PIONEER P21

BAB I
PENDAHULUAN

Dasar Pemikiran

Pangan, sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, sangat berkaitan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Dalam pemenuhan kebutuhan pangan, perlu diperhatikan jumlah, mutu dan gizi serta keamanannya. Pemerintah berupaya menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat mampu memenuhi kebutuhan panganya secara cukup

Jagung adalah komoditas yang penting dalam perekonomian dunia dan merupakan salah satu tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi. Di Indonesia, jagung sebagai bahan pangan adalah sumber karbohidrat kedua setelah beras. Kandungan kimia jagung terdiri dari : air 13.5%, protein 10%, lemak 40%, karbohidrat 61.05%, gula 1.4%, pentosa 6.0%, serta 2.3%, abu 1,4% dan zat-zat kimia lainya 0.4%. Mencermati kandungan dan komposisi kimia tersebut, jagung selain merupakan sumber kalori, juga mensuplai nutrisi untuk memperoleh keseimbangan gizi bagi manusia.

Apalagi dengan harga jual jagung yang semakin membaik, maka jagung sudah menjadi PRIMADONA para petani dalam memanfaatkan lahan pertanianya, oleh karena itu, ketersediaan benih jagung yang baik merupakan suatu kebutuhan yang harus terpenuhi dalam rangka tetap terjaganya komoditas jagung di Indonesia, khususnya di kabupaten Tegal.

Dengan konteks itulah, maka PAGUYUBAN GAPOKTAN KABUPATEN TEGAL sebagai wadah aspirasi seluruh petani di Kabupaten Tegal mengupayakan suatu kegiatan yang mendukung ketersediaan benih jagung dalam rangka menghadapi musim tanam ke-3 tahun 2008 melalui kegiatan “PASAR BENIH JAGUNG HIBRIDA PIONEER P21”

Tujuan Kegiatan
Menyediakan Benih jagung Hibrida berkualitas dengan harga terjangkau.
Memenuhi kebutuhan benih petani palawija di Kabupaten Tegal, dalam rangka menghadapi musim tanam ke-3 Tahun 2008.
Mengatasi kesulitan benih PIONEER yang mengalami kelangkaan dan tingginya harga jual.
Meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan hasil panen dengan benih yang berkualitas.
Meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Memasyarakatkan jagung, sebagai komoditas petani Indonesia, khususnya petani Kabupaten Tegal.
BAB II
PELAKSANAAN DAN BENTUK KEGIATAN
A. WAKTU PELAKSANAAN
Kegiatan Pasar Benih Jagung Hibrida Pioneer P21 dilaksanakan pada :
Hari / Tanggal : Jum'at 12 September 2008
Tempat : Lapangan Madrasah Diniyah Al-Falah Desa Kajongan
Depan Masjid Darussalam Desa Kajongan Kec. Tarub kabupaten Tegal
B. PERSYARATAN DAN ALOKASI PENJUALAN
1.Persyaratan Pembeli
a. Pembeli adalah dari unsur anggota Kelompok Tani/ Gabungan Kelompok.
b. Tidak untuk dijual belikan
c. Tercantum dalam Daftar Rencana Kebutuhan Benih yg diajukan oleh Kelompok Tani
d. Melunasi pembayaran dengan melampirkan bukti pembayaran dari Bank yang ditunjuk oleh Panitia
e. Berdomisili pada wilayah area pemasaran

2.Jumlah dan alokasi Pemasaran dan kuaota Penjualan
Alokasi wilayah : Kecamatan Tarub, Kecamatan Kramat,Kecamatan Suradadi dan Kecamatan Warureja
Jumlah Alokasi : 500 Kg setiap kecamatan dan tiap kecamatan masing-masing 10 kelompok
C KEGIATAN
1. Penjualan Benih jagung Hibrida Pioneer P21
2.Tausiah Ramadlan
3. Buka Puasa Bersama
4. Santunan Anak Yatim/Piatu dan Fakir miskin
D ORGANISASI PENYELENGGARA
PENYELENGGARA KEGIATAN adalah PAGUYUBAN GAPOKTAN KABUPATEN TEGAL
Dengan susunan Kepanitiaan sebagai berikut :
Pelindung : Kepala Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Pembina : Ka. UPTD Kec. Tarub, Kec. Kramat, Kec Suradadi, Kec Warureja
Koordinator Penyuluh
Petugas Penyuluh Lapangan
Ketua Pelaksana : Ketua Paguyuban Gapoktan Kabupaten Tegal
Sekretaris : Puji Lestari
Bendahara : Rohyati
Koord. kegiatan : Drs. Khuzaeni
Koord. Humas : Ansori
Koord. Keamanan : Nasir T
Koord. Sarpras : Waryono
Koord. Konsumsi : Nurkhayanah
Koord. Dokumentasi : Arip

E. MITRA PENYELENGGARA KEGIATAN
Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Tegal
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal
PT. Duppont Indonesia
AGUS Riyanto Centre
Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen
Gapoktan Maju Jaya Desa Kesadikan
SUARA MERDEKA
PT. PUPUK KUJANG
UD. SARANA PRODUKSI PADI TEGAL







Rabu, 03 September 2008

PENATAAN LAHAN DALAM SEKTOR PERTANIAN

Bahasan penataan lahan intersektoral dengan sasaran antisipatif pemanfaatan lahan untuk kepentingan berbagai sektor, perlu dikomplemen dengan penataan lahan dalam sektor pertanian sendiri untuk mendapatkan optimasi penataan lahan secara holistik dan komprehensif. Fokus bahasan penataan lahan intersektoral adalah melalui pengungkapan keragaman dan antisipasi penanggulangan dampak konversi, maka bahasan optimasi penataan lahan sektor pertanian akan mencakup pengungkapan beberapa faktor diterminan utama, yaitu:
a. Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pengembangan berbagai komoditas pertanian
melalui penelitian dan pemetaan AEZ (Agro-Ekological Zone).
b. Penelitian, pengkajian, dan pngembangan teknologi spesifik lokasi dan program pendukung
pengembangannya.
c. Konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan agribisnis.
Ketiga aspek tersebut perlu dilakukan secara simultan agar pemanfaatan lahan dapat digunakan secara optimal sesuai dengan potensinya dengan sasaran maksimisasi pendapatan petani dan pengembangan ekonomi wilayah.
Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pertanian melalui pembuatan peta AEZ merupakan basis bagi optimasi penataan lahan. Pembuatan peta AEZ perlu mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis sehingga memiliki relevansi faktual sebagai basis pengembangan komoditas. Komoditas yang dikembangkan disamping memenuhi persyaratan teknis pengembangan juga telah memperhatikan potensi pasar, sehingga diperoleh sinergi dan keberlanjutan produksi dan pendapatan petani. Peta AEZ hendaknya mampu memberikan beberapa informasi kunci sebagai berikut:
i. Batasan wilayah secara spasial yang menunjukkan karakteristik dan potensi kemampuan lahan; ii. Pilihan komoditas prioritas yang dapat dikembangkan
iii. Indikasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan setiap komoditas.

BPTP di seluruh Indonesia dengan pendampingan Puslit Tanah dan Agroklimat telah memiliki kemampuan memadai dalam pembuatan peta AEZ ini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan BPTP dalam pembuatan peta AEZ yang dinilai sangat penting dalam perumusan perencanaan strategis pengembangan agribisnis. Dalam konteks desentralisasi pembangunan di tingkat kabupaten, pembuatan peta AEZ skala 1 : 50.000 dinilai sangat memadai dalam perumusan perencanaan pembangunan pertanian di tingkat kabupaten. Peta AEZ diharapkan mampu menampilkan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas yang diindikasikan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi penggunaan masukan yang tinggi.

Optimasi pemanfaatan lahan dengan sasaran pengembangan pendapatan petani dan ekonomi wilayah perlu difasilitasi dengan sejumlah alternatif teknologi introduksi pengembangan komoditas prioritas. Perencana pembangunan pertanian atau petani akan mempertimbangkan sejumlah aktivitas usahatani dalam upaya maksimisasi pendapatan. Pengembangan teknologi spesifik lokasi komoditas prioritas/unggulan daerah akan memberikan sejumlah opsi dengan kapasitas produksi dan peningkatan pendapatan yang lebih besar. Teknologi introduksi yang ditawarkan dapat berupa paket teknologi untuk komoditas unggulan atau rakitan/sintesa teknologi dalam pola tanam dalam setahun. Fasilitasi lain yang diperlukan adalah dukungan permodalan, mobilitas tenaga kerja, kelancaran arus barang dan perdagangan input-output serta kebutuhan konsumsi lainnya.

BPTP propinsi mempunyai mandat untuk mengadaptasikan dan mengkaji komponen teknologi matang yang dihasilkan oleh Balit komoditas dan mendiseminasikannya kepada pengguna teknologi spesifik lokasi di daerah. Basis penciptaan teknologi itu adalah peta pewilayahan komoditas (AEZ) yang dilakukan secara sekuensial (studi adaptif-SUT-SUP) dan tuntas dalam kerangka waktu (time frame) tertentu dan diakhiri dengan kegiatan diseminasi. Teknologi potensial spesifik lokasi juga perlu difasilitasi dengan kebijakan pendukung yang diturunkan dari hasil studi tematik dan analisis kebijakan dengan sasaran bukan saja dapat meningkatkan produksi, tetapi juga meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.

Dalam tataran operasional, optimasi penataan lahan akan ditentukan oleh pelaksanaan program konsolidasi lahan pada tingkat mikro dan makro di lapangan (Rusastra et al., 2001). Secara mikro, konsolidasi lahan di tingkat petani diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan status garapan non-milik ( sakap atu sewa). Konsolidasi mikro ini didorong oleh adanya fragmentasi lahan dan daya tarik serta aksesibilitas pada kegiatan di luar sektor pertanian. Perkembangan teknologi di sektor pertanian (perbaikan kesuburan lahan dan produktivitas usahatani) tidak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat pelaksanaan konsolidasi lahan sejauh dapat diciptakan kesempatan kerja atau program kondusif lainnya (industrialisasi dan transmigrasi). Konsolidasi lahan akan berjalan sukses dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan masyarakat petani dan pengembangan ekonomi wilayah, bila pembangunan pertanian dan non-pertanian berhasil baik.

Konsolidasi mikro di tingkat petani (sakap, sewa/gadai, dan pembelian lahan) diawali oleh adanya migrasi sebagian petani karena adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Karena keterbatasan kemampuan pengelolaan, sebagian lahan hasil pembelian petani kaya disakapkan atau disewakan kepada petani lainnya. Untuk lebih meningkatkan kinerja konsolidasi lahan, perlu dirumuskan kelembagaan sistem sakap yang kondusif bagi pencapaian sasaran pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Konsolidasi lahan ini juga perlu difasilitasi oleh sistem kelembagaan dimana petani tidak kehilangan haknya atas tanah, namun tetap dapat akses terhadap kegiatan di luar sektor pertanian.

Konsolidasi mikro di tingkat petani baru memperbaiki salah satu aspek dari struktur penguasaan lahan yaitu adanya perluasan lahan garapan. Dampak konsolidasi lahan terhadap perbaikan adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi usahatani, dan peningkatan pendapatan petani dapat berhasil baik bila terdapat perbaikan struktur penguasaan lahan secara komprehensif yang mencakup penanganan fragmentasi pemilikan, fisik hamparan, dan jarak antar persil.

Analisis kasus kemitraan agribisnis, tampaknya berjalan secara parsial (sub-optimal) sehingga efisiensi tidak maksimal (Rusastra, et al., 2001). Perlu didorong munculnya kemitraan agribisnis yang bersifat integratif melalui pengembangan kendali manajemen terpusat dan koordinatif sehingga diperoleh efisiensi yang maksimal melalui pemantapan kelembagaan pengadaan dan pasar input, organisasi produksi, dan pasar output. Kinerja konsolidasi kemitraan agribisnis ini nampaknya memiliki variasi yang luas tergantung pada jenis komoditas, tingkat aplikasi teknologi, dan orientasi pengembangan produk yang dihasilkan. Kesemuanya ini membutuhkan rumusan perencanaan dan kelembagaan yang bersifat spesifik dalam pengembangannya. Penelitian dan pengkajian konsolidasi lahan ke depan melalui pengembangan kemitraan agribisnis perlu diarahkan pada aspek tersebut dengan mempertimbangkan keragaman faktor yang mempengaruhinya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
  1. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata-ruang dan kelas kemampuan lahan. Perencanaan ini perlu didukung oleh pengembangan infrastruktur dengan karakteristik yang berbeda antar sektor/sub sektor dengan tetap mempertimbangkan konsep pembangunan wilayah secara terpadu. Perencanaan normatif ini hanya relevan untuk kawasan pengembangan baru, dan nampaknya tidak sepenuhnya operasional bagi wilayah yang sudah berkembang. Pada kawasan terakhir ini permasalahan yang perlu dipecahkan adalah mencegah konversi lahan pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang akhirnya berdampak buruk terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.
  2. Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan pertanian produktif, melemahnya ketahanan pangan, dan marginalisasi petani paska konversi. Kebijakan mikro seperti harga dan pajak lahan serta pendapatan dinilai kurang efektif dalam mencegah proses konversi lahan. Perlu pembinaan dan pengembangan SDM petani paska konversi, sehingga dapat memanfaatkan secara efektif dana hasil konversi dan juga memiliki aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru di luar sektor pertanian. Perlu reorientasi pembangunan pertanian di Jawa dan penekanan pada manajemen dan teknologi komoditas bernilai tinggi, dan percepatan pembangunan di luar Jawa.
  3. Kebijakan strategis antisipatif penanggulangan dampak konversi perlu mempertimbangkan langkah strategi jangka pendek seperti: (a) peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan peningkatan daya guna sarana dan prasarana irigasi aktual; (b) percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan sistem irigasi secara berjenjang sesuai dengan tahap perkembangannya (dini – maju – responsif); (c) perluasan irigasi dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat seperti pengembangan sawah tadah hujan dan pembukaan areal pertanian baru; dan (d) pelaksanaan penegakan hukum melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian strategis.
  4. Optimalisasi pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian perlu diinisiasi melalui identifikasi karakterisasi dan pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan pembangunan dan pewilayahan komoditas pertanian. Dalam operasionalnya perlu didukung dengan penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan modal/pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Strategi ini juga perlu difasilitasi dengan program konsolidasi lahan pertanian dengan mengembangkan pertanian dengan basis komoditas tertentu dan berwawasan agribisnis. Konsolidasi dapat diwujudkan melalui kerjasama kemitraan antara investor agribisnis dan petani dalam suatu kawasan agroekosistem. Strategi konsolidasi lahan ini disamping berperan dalam optimalisasi pemanfaatan lahan, juga mencegah alih fungsi lahan melalui pelaksanaan program kemitraan atau kooperatif farming yang sejalan dengan dorongan permintaan pasar yang menuntut adanya peningkatan efisiensi melalui perbaikan skala usaha pertanian.
  5. Dukungan Birokrasi melalui penerbitan Peraturan Daerah dalam bentuk Perdes ataupun Perda yang memberikan batasan lahan maupun komoditas Petani, sehingga tumbuh jaminan dan payung hukum dalam pemetaan lahan pertanian.


DAFTAR PUSTAKA
Rusastra, I W., G.S. Budhi, S. Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih, dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.


Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif Dalam Penanggulangannya.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.XVI. No.4, Oktober 1997, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.


Rusastra, I W., S.K. Darmoredjo, Wahida, dan A. Setiyanto. 2001. Konsoli-dasi Lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis. Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Syafa’at, N., H. P. Saliem, dan K.D. Saktyanu. 1995. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.


Sumaryanto, A. Pakpahan, dan S. Friyatno. 1995. Keragaan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non-Pertanian. Prosiding Pengemba-ngan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.


Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani. Prospektif Pembangu-nan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.